Monday, January 17, 2005

Catatan Perjalanan

1. Palembang
Perjalanan kita di Indonesia dimulai dari Palembang, kota kelahiranku dan tempat orangtuaku masih bertugas. Kota pempek ini memang kurang begitu turistik, yang terkenal hanya Jembatan Ampera yang melintasi sungai Musi dan tentu saja pempek dan kerupuk ikannya .




Satu-satunya oplet tua alias angkutan kota yang masih beroperasi di wilayah tertentu di Palembang, setirnya di sebelah kiri.


Toko kerupuk ikan, ada kerupuk ikan tenggiri, kerupuk cumi-cumi, pempek dan tekwan kering.


2. Semarang
Dari Palembang kita meneruskan perjalanan ke Semarang, kota kelahiran Bapak, kota tempat adikku kuliah dan tempat tinggal sebagian besar keluarga Bapak. Apa yang terkenal dari kota ini? Lunpia alias lumpia dan… apa lagi ya. Mungkin Gedung Lawang Sewu yang kutonton di acara Dunia Lain di TransTV. Jujur saja, sebelum nonton acara ini, aku gak tau gedung ini. Acara ini yang paling menarik perhatianku, karena bisa membuktikan kalau yang namanya hantu itu ada! Baru kali ini aku dibikin gak bisa tidur gara-gara acara yang berkaitan dengan makhluk halus. Biasanya kalau nonton film horor, ah itu kan buatan manusia, bohong-bohongan. Setelah melihat rupa makhluk halus yang berhasil ditangkap acara ini, waduh gila, serem bener!! Gedung Lawang Sewu (atau Pintu Seribu, karena pintunya memang banyak banget) ini dulunya dipakai sebagai asrama tentara dan tempat penyiksaan waktu jaman Belanda. Sekarang gedung bagus yang letaknya di tengah kota ini dibiarkan kosong. Mungkin karena lama sekali dibiarkan tanpa penghuni, jadi datanglah penghuni yang tidak bisa dilihat mata. Hiiii….


Gedung Lawang Sewu yang berdiri megah di tengah kota Semarang, sayang dibiarkan kosong tanpa digunakan sama sekali.


3. Solo
Dari Semarang, kota selanjutnya adalah Solo, tempat asal Ibu. Kota ini terasa adem-ayem, tidak seramai kota-kota lain di Indonesia.


Lengangnya kota Solo


Di kota batik ini tinggal keluarga besar Ibu dan bakal rumah orangtuaku bila mereka pensiun nanti.
Dalam perjalanan dari Semarang ke Solo, kita sempet berhenti di Candi Borobudur, sayangnya hujan deras menghalangi kunjungan kita. Gagal deehh…
Kita juga sempat mengunjungi Candi Sukuh yang menurut Intisari relief-reliefnya agak porno. Setelah dikunjungi, ternyata candinya gak besar-besar banget. Ada beberapa tanda yang melambangkan alat kelamin pria dan wanita, tapi ternyata tidak se-’porno’ yang digambarkan majalah Intisari. Wah penonton kecewa dah .



4. Lombok


Liburan kita yang berdua saja tahun ini ditentukan di Lombok. Sewaktu kita di Palembang, pas pesan ke tiket ke Lombok, kita maunya pesawat dari Jogja (yang dekat dengan Solo) tapi ternyata sudah penuh, sehingga dapatnya tiket dari Surabaya. Untuk perjalanan balik ke Jawa, untungnya kita dapat tiket Lombok-Jogja. Perjalanan dari Solo ke Surabaya ditempuh dengan kereta api selama 1 jam dan kita sempat menginap semalam di Surabaya dan mengunjungi Tunjungan Plaza (satu-satunya tempat di Surabaya yang aku tahu). Ternyata Kebun Binatang Surabaya juga terkenal tapi dikarenakan hujan yang turun dengan derasnya, kita tidak sempat berkunjung.
Hari selanjutnya kita berangkat ke Mataram, Lombok. Pesawat yang kita tumpangi penuh dengan turis baik asing maupun dalam negeri. Pantas saja, kita gak kebagian tiket, Lombok sudah mulai jadi incaran rupanya. Dari pesawat kita bisa mulai melihat pulau ini, juga tiga pulau kecil : Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan. Rencana kita, selama di Lombok ini kita menginap di Pondok Pantai, yang kita temukan lewat internet. Ternyata pemiliknya pasangan Indonesia-Belgia. Aku sempat email-emailan dengan sang istri yang asli Lombok. Dari bandara kita dijemput oleh teman si pemilik Pondok Pantai ini. Penginapan kita ternyata lumayan jauh dari bandara. Jalannya melewati perbukitan dan kita sempat berhenti sebentar untuk menghampiri monyet-monyet yang banyak berkeliaran. Kata sopir yang mengantar kita,
monyet di Lombok lebih jinak daripada monyet di Bali yang suka nyuri barang-barang turis .


Monyet Lombok


Sampai di Pondok Pantai, ternyata di musim penghujan ini, cuma kita pengunjungnya. Wah serasa milik berdua dah. Sebenarnya tempatnya enak, serasa di pondok primitif gitu (walaupun toiletnya duduk dan ada shower), tapi setelah kejadian tsunami kita jadi agak-agak serem mendengar debur ombak yang memang deket banget dengan penginapan. Selain itu, karena kita satu-satunya tamu di situ bikin keder juga.


Tampang pondok tempat kita menginap, pondok ini dibagi jadi dua kamar.



Pemandangan dari pondok kita.


Penghuni pondok


Untung ada dewi penyelamat, Mbak Hani, anggota Blogfam yang tinggal di Lombok. Hari selanjutnya kita sepakat pindah ke hotel yang lebih ‘bermanusia’, di kota Mataram, sekalian dekat mana-mana, dekat tempat makan, dekat dengan rumahnya Mbak Hani, dll. Paginya kita siap menunggu Mbak Hani yang bakal menjemput bersama saudaranya, Opan. Dalam perjalanan bersama mereka ke Mataram, kita lewat rute lain, lewat pantai. Wah gila, pemandangan Pantai Sengigi-nya bagus banget. Bagusnya lagi, pantainya tetap dijaga dari pengaruh negatif pariwisata seperti pembangunan hotel yang harus mengadakan reklamasi. Semoga saja usaha ini tetap berlangsung walaupun nantinya pariwisata di Lombok lebih daripada yang ada sekarang. Kita sempat mengunjungi beberapa pura Hindu di Mataram. Penduduk Lombok terdiri dari 80% Muslim dan 20% Hindu dan agama lain. Dulunya Lombok ini sempat dijajah oleh Bali, sehingga sisa-sisa peninggalan Balinya masih banyak.


Pemandangan Pantai Sengigi dari atas bukit.


Gunung Agung dari Bali, dilihat dari Lombok.


Pura-pura Hindu yang masih dipakai untuk ibadat.


Cidomo (cikar dokar motor) alias dokar ala Lombok.


Hari selanjutnya kita jalan berdua aja ke Pulau Gili. Kalau melihat buku panduan sih, katanya Gili Meno yang paling bagus terumbu karangnya dan juga tidak ramai turis, Gili Air tidak menarik sama sekali (karena paling kecil di antara 2 pulau yang lain) dan Gili Trawangan dikenal paling turistik dan ramai. Sampai di pelabuhan (yang jaraknya lumayan jauh dari Mataram), kita mutusin nyewa perahu untuk mengunjungi Gili Meno dan Gili Trawangan. Sampai di Gili Trawangan, cuaca masih cerah, sehingga kita bisa menyewa alat snorkelling dan ber-snokelling ria bersama guide kita. Gak berapa lama di sana, lho kok tiba-tiba cuacanya berubah mendung. Kita melanjutkan perjalanan ke Gili Meno dengan harapan cuaca membaik. Ternyata sampai Gili Meno, cuaca terus memburuk. Daripada bengong di dermaga, kita menyewa dokar untuk keliling pulau. Pulaunya kecil dan sepi banget, sayang kita gak bisa snorkelling hari itu sehingga tidak bisa membuktikan kata buku panduan. Di Gili Meno ini ada danau air asin yang sayangnya tidak terawat dan jadi bikin serem saking sepinya.


Beberapa pemandangan pantai Gili Trawangan dan Gili Meno.


Danau air asin di tengah pulau Gili Meno.


Malamnya kita diundang makan malam di rumah Mbak Hani. Kita bertemu dengan suaminya, Mas Boen dan 2 putri ciliknya, Aca dan Ica. Makan malamnya sate ikan khas Lombok dan Pelecing Kangkung, yaitu kangkung rebus pake sambal. Ternyata oh ternyata, pedasnya!!! Waduh, itu sih bukan makan kangkung, tapi makan cabe ditemani kangkung! Sate ikannya wah bener-bener enak, sate ini berupa ikan (biasanya tenggiri) yang dihancurkan, dicampur dengan bumbu-bumbu, dibulatkan dan dibakar.



Hari terakhir kita di Lombok diisi dengan belanja souvenir! Karena pesawat kita berangkatnya sore, kita masih banyak kesempatan untuk belanja. Mbak Hani mengantar kita ke pusat souvenir. Kita langsung ngiler liat barang-barang bagus di situ. Perhentian selanjutnya, pusat penjualan mutiara juga bikin ngiler. Kalau tidak ingat kantong dan waktu, bisa seharian di situ! Siangnya kita janjian dengan Mas Boen (yang kemudian datang dengan Aca) untuk makan bersama di restoran seafood. Selesai makan siang, kita berpisah dengan keluarga Mbak Hani dan berjanji untuk bertemu lagi bila lain waktu kita sempat ke Lombok lagi, yang tentunya dalam jangka waktu lebih lama daripada sekarang. Terima kasih kita udah ditemenin ya Mbak, next time, kita bakal di Lombok lebih lama, kita masih belum kesampaian ke Lombok Timur, naik ke Rinjani dan tentunya, diving!